Featured Post

Tren CSS & Layout Modern 2025: Flexbox, Grid & Beyond

 Kalau gue flashback sedikit ke awal belajar front-end, rasanya lucu juga mengingat betapa ribetnya bikin layout cuma pakai float dan posisi manual. Dikit-dikit “clear: both;”, margin lari ke mana-mana, dan debugging layout bisa makan waktu berjam-jam. Tapi industri website development berkembang cepat, dan setiap tahun selalu muncul cara baru yang bikin hidup developer lebih gampang. Masuk ke tahun 2025, CSS sudah jauh lebih matang, elegan, dan terasa seperti alat superpower. Gue ngerasa bikin layout sekarang nggak lagi sekadar “nyusun kotak", tapi benar-benar menciptakan pengalaman visual yang fleksibel, responsif, dan smart. Flexbox sudah mapan, Grid makin kuat, dan CSS modern seperti container queries, subgrid, dan nesting bikin proses styling jadi lebih rapi dan manusiawi. Artikel ini gue tulis berdasarkan pengalaman gue mengerjakan project klien sepanjang 2024–2025. Kita bakal bahas tren layout terbaru yang paling relevan, gimana cara pakainya, dan kenapa lo wajib melek t...

Perbandingan Express, NestJS, dan Fastify: Framework Mana Terbaik?

 Waktu pertama kali gue nyemplung serius ke backend, gue pikir semua framework itu kurang lebih sama. Toh ujung-ujungnya cuma nerima request, balikin response. Tapi setelah ngerjain beberapa proyek berbeda—project kecil, aplikasi skala menengah, sampai API yang harus stabil menghadapi ribuan request—gue sadar kalau pilihan framework itu bisa nentuin ritme kerja, flow development, dan bahkan kecepatan progres tim.

Di dunia website development modern, tiga nama yang paling sering muncul adalah Express, NestJS, dan Fastify. Ketiganya sama-sama powerful, tapi sensasinya beda banget. Kira-kira kayak milih antara motor bebek, motor sport, dan motor listrik—semua bisa jalan, tapi gaya dan pengalaman pakainya beda.

Artikel ini gue tulis dengan gaya ngobrol aja, biar gampang dicerna. Dan gue bakal ceritain juga pengalaman gue pakai ketiganya.


Sebelum masuk ke detail perbandingan, ada satu hal yang dulu bikin gue bingung: kenapa banyak developer masih pakai Express padahal framework baru bermunculan? Jawabannya simpel: Express itu seperti “bahasa ibu”-nya backend Node.js. Hampir semua orang pernah nyentuh framework ini. Dia ringan, fleksibel, dan gampang dimodifikasi.

Tapi justru karena terlalu bebas, kadang lo jadi punya banyak pilihan yang membingungkan. Mau struktur folder kayak apa? Mau middleware dirangkai di mana? Mau error handler dipisah atau digabung? Semua terserah lo. Kelebihan sekaligus kekurangan.

Gue ingat dulu pertama kali bikin API kecil pakai Express. Rasanya seru, simple, dan cepat selesai. Tapi ketika codebase bertambah besar, gue mulai kerasa capek sendiri. Banyak file saling ketergantungan, struktur makin liar, dan debugging makin makan waktu. Tapi buat project kecil sampai menengah, Express itu masih juara dari sisi kecepatan setup.


Lalu datanglah era NestJS. Waktu pertama kali gue lihat dokumentasinya, gue sempat mikir: “Lah, ini kok mirip Angular versi backend?” Dan ternyata memang modelnya mirip. NestJS itu framework opiniated yang pakai konsep modular, dependency injection, decorator, sampai architecture yang sangat rapi.

Kalau Express itu seperti rumah kontrakan yang bisa lo atur sesuka hati, NestJS itu kayak rumah cluster modern yang sudah rapi dari lahir. Lo tinggal masuk dan pakai sesuai blueprint. Dulu gue sempat males sama sesuatu yang terlalu terstruktur, tapi setelah ngerjain project tim dengan lebih dari lima developer, struktur itu menyelamatkan segalanya.

Dengan NestJS, semua hal punya tempatnya masing-masing. Controller, service, module—semua tertata. Bahkan fitur seperti validation, guard, interceptor, dan middleware sudah tersedia dan tinggal dipakai. Cocok banget buat website development yang butuh arsitektur jangka panjang.

Satu hal yang paling gue suka dari NestJS adalah kemudahan scaling. Kalau project lo dari awal sudah besar atau lo kerja di tim yang terbiasa dengan TypeScript, NestJS itu benar-benar bikin proses development nyaman. Tapi kalau lo bikin API sederhana? Jujur, mungkin terasa terlalu berlebihan.


Nah, sekarang kita masuk ke Fastify, framework yang sering disebut sebagai “Express versi turbo”. Dulu gue penasaran karena banyak developer bilang Fastify lebih cepat dibanding Express. Dan memang bener: waktu gue benchmarking di project internal, hasilnya cukup jauh. Fastify dirancang dengan fokus utama pada performance.

Yang menarik, Fastify tetap mempertahankan kesederhanaan ala Express, tapi dengan fitur yang lebih modern dan plugin system yang lebih terkontrol. Ini bikin Fastify sering jadi pilihan startup yang butuh performa tinggi tanpa keribetan struktur kompleks.

Waktu pertama kali gue nyoba Fastify, hal yang paling gue notice adalah kemudahan registrasi plugin dan routing yang lebih terorganisir. Secara flow, dia lebih modern dibanding Express, tapi tidak serumit NestJS. Cocok untuk yang pengen cepat tapi tetap rapih.

Fastify itu seperti motor listrik: gesit, senyap, tapi masih belum semua orang punya. Ekosistemnya belum sebesar Express atau NestJS, tapi makin hari makin berkembang.


Kalau mau dibandingkan, kira-kira posisi ketiganya begini.
Express itu pilihan aman, seperti teman lama yang selalu bisa diandalkan. NestJS itu seperti partner profesional yang ngebantu lo tetap rapi dan fokus. Fastify itu pemain baru yang gesit dan sangat kuat secara performa.

Dalam konteks website development, ketiganya punya tempat masing-masing. Express menang untuk simplicity. NestJS menang untuk struktur perusahaan. Fastify menang untuk performa. Tapi pilihan terbaik selalu bergantung pada kebutuhan project.

Gue pribadi punya pola seperti ini:

  • Kalau klien minta API cepat jadi, skala kecil, endpoint sedikit → gue pakai Express atau Fastify.

  • Kalau project startup yang butuh speed dan performa → Fastify biasanya unggul.

  • Kalau project korporat, banyak developer yang terlibat, atau system besar → NestJS selalu jadi pilihan pertama.


Ada hal lain yang sering dilupakan: pengalaman tim. Framework itu sama kayak alat musik; sehebat apa pun alatnya, kalau yang main gak ngerti cara pakainya, hasilnya tetap berantakan. Pernah satu kali gue masuk ke project tim besar yang semua developer seniornya terbiasa pakai NestJS. Karena struktur NestJS sudah baku, developer baru bisa cepat adaptasi. Hal itu sangat penting kalau lo mengelola tim yang tumbuh cepat.

Di sisi lain, kalau tim lo terdiri dari developer junior yang baru belajar Node.js, Express jauh lebih mudah dipahami. Bahkan gue sering pakai Express untuk ngajarin konsep REST API ke pemula sebelum masuk ke framework yang lebih “serius”.

Fastify punya learning curve yang mirip Express, jadi cocok juga untuk tim kecil. Tapi perlu diperhatikan bahwa dokumentasi plugin pihak ketiga belum sebanyak ekosistem Express atau NestJS.


Sekarang, kalau lo tanya framework mana yang “terbaik”, jawabannya sebenarnya sederhana: yang paling sesuai dengan kebutuhan project lo saat ini. Framework terbaik itu bukan yang paling cepat, paling populer, atau paling modern, tapi yang paling pas dengan kapasitas tim, timeline, arsitektur, dan tujuan akhir.

Dalam perjalanan gue di bidang website development, gue belajar bahwa keputusan memilih framework bukan sekadar urusan teknis. Ini soal bagaimana lo menjaga ritme kerja, menjaga kualitas coding, dan memastikan tim bisa berkolaborasi tanpa hambatan.

Kadang Express sudah lebih dari cukup. Kadang NestJS membuat hidup lo jauh lebih teratur. Kadang Fastify menyelamatkan performa API ketika request sudah mulai membludak.

Yang jelas, ketiga framework ini masing-masing adalah alat yang sangat powerful ketika digunakan pada tempat yang tepat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari Kesalahan: Kisah Website yang Drop Trafiknya – Proses Pemulihan

7 Framework JavaScript Terpopuler Tahun 2025

Cara Menggunakan AI untuk Meningkatkan Pendapatan Website