Featured Post

Tren CSS & Layout Modern 2025: Flexbox, Grid & Beyond

 Kalau gue flashback sedikit ke awal belajar front-end, rasanya lucu juga mengingat betapa ribetnya bikin layout cuma pakai float dan posisi manual. Dikit-dikit “clear: both;”, margin lari ke mana-mana, dan debugging layout bisa makan waktu berjam-jam. Tapi industri website development berkembang cepat, dan setiap tahun selalu muncul cara baru yang bikin hidup developer lebih gampang. Masuk ke tahun 2025, CSS sudah jauh lebih matang, elegan, dan terasa seperti alat superpower. Gue ngerasa bikin layout sekarang nggak lagi sekadar “nyusun kotak", tapi benar-benar menciptakan pengalaman visual yang fleksibel, responsif, dan smart. Flexbox sudah mapan, Grid makin kuat, dan CSS modern seperti container queries, subgrid, dan nesting bikin proses styling jadi lebih rapi dan manusiawi. Artikel ini gue tulis berdasarkan pengalaman gue mengerjakan project klien sepanjang 2024–2025. Kita bakal bahas tren layout terbaru yang paling relevan, gimana cara pakainya, dan kenapa lo wajib melek t...

Desain yang Salah Arah: Gimana Gue Ngebenerin UX Website Klien

 

😅 Pembuka — Saat Klien Punya Visi yang "Unik"

Jadi ceritanya, beberapa waktu lalu gue dapet proyek buat ngerjain ulang desain website milik salah satu klien. Awalnya kedengeran simple: “Cuma mau ubah tampilan biar lebih modern,” katanya. Tapi pas gue liat desain lamanya… 😳 semuanya kacau.
Font-nya campur aduk, warna tabrakan, dan tombol CTA-nya kayak main petak umpet — ada tapi susah banget dicari 😅.

Gue tahu ini bakal jadi proyek yang menantang. Tapi di sisi lain, ini juga kesempatan gue buat bener-bener nunjukin kemampuan UX problem solving. Gue pengen buktiin kalau desain itu bukan cuma soal keren di mata, tapi juga soal rasa nyaman pas dipakai pengguna.


🧩 Isi — Dari Kacau ke Terarah

Langkah pertama yang gue lakuin adalah observasi perilaku pengguna. Gue minta izin klien buat pasang session recording tools, jadi gue bisa liat gimana pengunjung berinteraksi sama websitenya.
Dan hasilnya? Banyak banget yang keluar sebelum klik tombol apapun. Artinya, desain lama bikin pengunjung bingung 😵.

Dari situ gue mulai riset dan nyusun ulang struktur:

  1. 🧭 Navigasi lebih jelas — gue sederhanain menu dari 8 jadi 4 item inti.

  2. 🧱 Visual hierarchy — gue ubah ukuran heading dan spacing biar mata pengunjung langsung tahu mana yang penting.

  3. 🎯 Call-to-action tegas — tombol “Hubungi Kami” gue buat kontras dan selalu tampil di atas layar.

Gue pakai Figma buat desain ulang, terus gue test pakai beberapa skenario pengguna. Gue juga sempet debat kecil sama klien soal warna tombol (dia pengen ungu neon 😅), tapi setelah gue tunjukin hasil test A/B, dia akhirnya setuju pakai warna biru muda yang lebih kalem.

Setelah desain disetujui, gue mulai implementasi pakai Next.js + TailwindCSS. Gue pastiin semua komponen responsif dan cepat dimuat.
Pas udah di-deploy ke staging server, hasilnya bener-bener beda banget. Bounce rate turun hampir 40%, dan rata-rata waktu kunjungan naik dua kali lipat 🚀.


🌟 Penutup — UX Itu Tentang Empati

Dari proyek ini, gue belajar satu hal penting: UX bukan soal selera pribadi, tapi soal empati ke pengguna.
Kadang klien punya visi yang bagus, tapi kalau nggak diolah dengan pendekatan yang tepat, hasilnya bisa salah arah.
Sebagai developer sekaligus desainer, tugas kita bukan cuma nurut sama request, tapi juga bantu mereka memahami kenapa sesuatu perlu diubah.

Sekarang website klien itu udah tampil lebih bersih, navigasi jelas, dan konversi meningkat. Yang paling bikin seneng? Kliennya bilang,

“Website-nya sekarang bukan cuma bagus, tapi juga bikin pelanggan betah.”
Itu rasanya kayak dapet bonus level di game developer 😎🎉

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari Kesalahan: Kisah Website yang Drop Trafiknya – Proses Pemulihan

7 Framework JavaScript Terpopuler Tahun 2025

Cara Menggunakan AI untuk Meningkatkan Pendapatan Website